Tsunami Chili, 2 April 2014 : Menyikapi Kesiagaan Bencana
Dr. Sugeng
Pribadi
Selasa, 1 April 2014 pada
jam 20.46 waktu setempat atau jam 06.46 WIB (Rabu, 2 April 2014) gempabumi berkekuatan Mw 8.0
menguncang Chili, negara di wilayah Amerika Latin. Analisa BMKG menunjukkan gempabumi ini berkekuatan Mwp 8,0, kedalaman
10 km dengan kebangkitan tsunami
setinggi 2 m serta memakan korban jiwa 5 orang di Chili.
Mekanisme Gempabumi
Gempabumi merusak di daerah
ini umumnya dipengaruhi oleh aktivitas subduksi mega-thrust antara Lempeng Nazca dan Lempeng Amerika Selatan. Posisi episenter gempabumi (19.61°LS, 70.83°BB) sangat dekat hanya 100 km ke arah Palung Subduksi
Nazca dan juga terhadap Pantai Arica, Chili. Mekanisme fokus yang dihasilkan
Gempabumi Chili 2014 adalah sesar naik sehingga sangat mendukung kebangkitan
tsunami. Gambar 1 menunjukkan lokasi episenter yang hampir sama dari walaupun
berasal dari institusi yang berlainan (BMKG, GEOFON, USGS, JMA, PTWC, EMSC). Alasannya
adalah magnitudo gempabumi yang cukup besar sehingga tercatat jelas oleh semua
sensor teleseismik.
Sejarah Gempabumi Merusak
Selama
abad ke-20 bencana serupa telah membuat trauma berat bagi warga Chili. Kejadian
terbaru dan belum terlupakan adalah Gempabumi Pantai Bio-bio, Chili, 22 Februari
2010 bermagnitudo 8,8 dengan korban jiwa 547 orang. Diantaranya yang signifikan
pernah terjadi di Arica tahun 1868 sejumlah 25.000 orang meninggal, Valparaiso
1906 (3,882 orang), Chillan 1939 (28.000 orang). Gempabumi Chili, 22 Mei 1960
mempunyai kekuatan terbesar sepanjang sejarah magnitudo 9,5 SR dan tsunami
setinggi 25 m yang menelan korban 1655 orang. Propagasi tsunami ini melintasi
samudera luas hingga ke Hawaii 15 jam dan Jepang 23 jam sesudah waktu gempa
utama. Tsunami Chili 1960 akhirnya menjadi tonggak sejarah terbentuknya
peringatan dini tsunami tingkat dunia demi penyelamatan bangsa-bangsa yang
lebih luas.
Gambar 1. Episenter lokasi Gempabumi Chili, 2 April 2014 menunjukkan
hasil yang sama untuk semua institusi (Sumber : Dwi Hartanto, BMKG).
Pemodelan Tsunami dan
Kebijakan
Pemodelan tsunami mempunyai peran dalam mitigasi
bencana tsunami yang ditimbulkan oleh gempabumi. Tsunami paling cepat dalam
hitungan puluhan jam atau puluhan menit untuk kasus far-field dan near-field
tergantung pada lokasi hiposenter terhadap pantai. Pemodelan tsunami dapat
memprediksi daerah-seberapa lama tsunami sampai ke daratan setelah gempa utama
terjadi dan seberapa tinggi tsunami di daerah tersebut, seperti tampak pada
pemodelan tsunami menggunakan Tsunami Travel Time (TTT) (Gambar 2). Prediksi
ini dapat diperinci lagi dengan kota-kota manakah yang terkena dampak tsunami
dan seberapa parah tsunami akan menerpa daerah tersebut. Berdasarkan prediksi
tersebut, para pengambil keputusan dapat mengambil langkah yang tepat dan
bijaksana dalam upaya penyelamatan warganya.
Gambar 2. Propagasi tsunami menggunakan pemodelan TTT untuk Gempabumi
Chili, 2 April 2014 (Sumber : Dwi Hartanto, BMKG).
Untuk kasus Gempabumi Chili,
2 April 2014, observasi tsunami
menggunakan tide-gauge menunjukkan tsunami maksimum 2,5 m pada lokasi Pisagua, Chili.
Laporan Kantor Berita CNN juga menyebutkan tsunami setinggi 2 m mencapai Pantai
Chili. PTWC sebagai lembaga
peringatan dini tsunami wilayah Pasific, menegaskan bahwa tsunami masuk ke
Hilo, Hawaii dengan paling tinggi 55 cm. Berbeda jauh dengan kejadian Tsunami
Chili 1960 dengan kekuatan gempabumi yang sangat besar (M 9,5). Oleh karena itu
sekalipun tsunami ini merambat sampai ke perairan Indonesia, tetapi tsunami ini tidak membahayakan karena berketinggian sangat rendah.
BMKG hanya menyiarkan status peringatan (threat
level) WASPADA dengan ketinggian dibawah
0,5 m untuk kasus Gempabumi Chili, 2 April 2014 (Gambar 3). Kota pertama di
wilayah Timur Indonesia yang dihampiri tsunami ini adalah Jayapura pada jam 05.11
pagi WIT (07.11 WIB) tanggal 3 April 2014. Perlu dipahamkan juga ke masyarakat kita, sekalipun tsunami
ini terjadi tentunya hanya sebetis atau semata kaki saja.
Terlebih lagi rangkaian Kepulauan Solomon, Papua
Nugini, Australia, Selandia Baru, Ambon, Banda dan Timor akan berfungsi sebagai barrier – pemecah gelombang yang alami sehingga bisa jadi faktor penghambat utama turunnya
amplitudo tsunami mencapai pantai Indonesia. Terlebih lagi dengan jauhnya jarak tempuh propagasi
menyebabkan energi
gelombang tsunami mengalami penurunan secara drastis.
Tsunami memang momok yang
paling ditakuti sepanjang sejarah manusia. “The
giant sleeps, but rude awakens,” nasihat seorang ilmuwan sebagai sesuatu yang
perlu diwaspadai. Apalagi bagi kita yang mempunyai segudang pengalaman bencana.
Akan tetapi pemahaman yang benar sangat diperlukan dalam mengambil langkah kebijakan
dan penanganan. Karakteristik yang hampir mirip belum tentu menghasilkan akibat
serupa. Semoga tulisan ini dapat
memberi manfaat.
Gambar 3. Zona warning (atas) dan estimasi tinggi tsunami (SSH) (bawah)
menggunakan pemodelan TOAST dan parameter BMKG (NTWC) untuk Gempabumi Chili, 2
April 2014 (Sumber
: Karyono, BMKG).
Komentar
Posting Komentar